Agama berasal dari bahasa sansekerta “agama” yang berarti tradisi sedang kan dari kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti mengikat kembali, yang maksudnya adalah dengan berreligi seseorang mengikat dirinya dengan Tuhan.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia agama merupakan system atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan. Kaitan agama dengan masyarakat banyak dibuktikan oleh pengetahuan agama yang meliputi penulisan sejarah dan figur nabi dalam mengubah kehidupan sosial, argumentasi rasional tentang arti dan hakikat kehidupan, tentang Tuhan dan kesadaran akan maut menimbulkan religi, dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sampai pada pengalaman agamanya para tasuf. Kemudian, pada urutannya agama yang diyakininya merupakan sumber motivasi tindakan individu dalam hubungan sosialnya, dan kembali kepada konsep hubungan agama dengan masyarakat, dimana pengalaman keagamaan akan terefleksikan pada tindakan sosial, dan individu dengan masyarkat seharusnyalah tidak bersifat antagonis.
Membicarakan peranan agama dalam kehidupan sosial menyangkut dua hal yang hubungannya sangat erat, memiliki aspek-aspek yang terpelihara yaitu pengaruh dari cita-cita agama dan etika agama dalam kehidupan individu dari kelas sosial dan grup sosial, perseorangan dan kelektivitas, dan mencakup kebiasaan dan cara semua unsur asing agama diwarnainya. Yan g lainnya juga menyangkut organisasi dan fungsi dar lembaga agama sehingga agama dan masyarakat itu berwujud kolektivitas ekspresi nilai-nilai kemanusiaan yang mempunyai seperangkat arti mencakup perilaku sebagai pegangan individu (way of life) dengan kepercayaan dan taat kepada agamanya.
FUNGSI AGAMA
Menurut lembaga social, agama merupakan bentuk perilaku manusia yang
terlembaga. Dalam masyarakat ada tiga aspek penting yaitu : Kebudayaan, system social dan
kepribadian. Teori fungsional dalam melihat kebudayaan adalah wujud suatu kompleks dari ide – ide, gagasan, nilai – nilai, norma – norma dan peraturan. Fungsi kepribadian dalam ini merupakan suatu dorongan kebutuhan yang kompleks dan kecendrungan bertindak. Aksioma teori fungsional agama adalah segala sesuatu yang tidak berfungsi akan lenyap dengan sendirinya. Masyarakat inustri bercirikan dinamika dan semakin berpengaruh terhadap semua aspek kehidupan.Perkembangan iptek mempunyai konsekuensi penting bagi agama.Sekulerisai cenderung mempersempit ruang gerak kepercayaan dan pengalamankeagamaan. Kebanyakan agama yang menerima nilai- nilai institusional baru adalah agama – agama aliran.
Kebanyakan agama di dunia adalah menyaran kepada kebaikan. Dalam ajaran agama sendiri sebenarnya telah menggariskan kod etika yang wajib dilakukan oleh penganutnya. Maka ini dikatakan agama memainkan fungsi kawanan social
Fungsi Sosial Agama
Secara sosiologis, pengaruh agama bisa dilihat dari dua sisi, yaitu pengaruh yang bersifat positif atau pengaruh yang menyatukan (integrative factor) dan pengaruh yang bersifat negatif atau pengaruh yang bersifat destruktif dan memecah-belah (deintegrative factor).
Pembahasan tentang fungsi agama disini akan dibatasi pada dua hal yaitu agama sebagai faktor integratif dan sekaligus disintegratif bagi masyarakat.
Fungsi Integratif Agama
Peranan sosial agama sebagai faktor integratif bagi masyarakat berarti peran agama dalam menciptakan suatu ikatan bersama, baik diantara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka. Hal ini dikarenakan nilai-nilai yang mendasari sistem-sistem kewajiban sosial didukung bersama oleh kelompok-kelompok keagamaan sehingga agama menjamin adanya konsensus dalam masyarakat.
Fungsi Disintegratif Agama
Meskipun agama memiliki peranan sebagai kekuatan yang mempersatukan, mengikat, dan memelihara eksistensi suatu masyarakat, pada saat yang sama agama juga dapat memainkan peranan sebagai kekuatan yang mencerai-beraikan, memecah-belah bahkan menghancurkan eksistensi suatu masyarakat. Hal ini merupakan konsekuensi dari begitu kuatnya agama dalam mengikat kelompok pemeluknya sendiri sehingga seringkali mengabaikan bahkan menyalahkan eksistensi pemeluk agama lain
Tujuan Agama
Salah satu tujuan agama adalah membentuk jiwa yang ber-budipekerti dengan adab yang sempurna baik dengan Tuhannya maupun lingkungan masyarakat. Semua agama sudah sangat sempurna dikarenakan dapat menuntun umatnya bersikap dengan baik dan benar serta dibenarkan. Keburukan cara bersikap dan penyampaian si pemeluk agama dikarenakan ketidakpahaman tujuan dari agamanya. Memburukkan serta membandingkan agama satu dengan yang lain adalah cerminan kebodohan si pemeluk agama.
Beberapa tujuan agama yaitu :
• Menegakan kepercayaan manusia hanya kepada Allah,Tuhan Yang Maha Esa (tauhid).
• Mengatur kehidupan manusia di dunia,agar kehidupan teratur dengan baik, sehingga dapat mencapai kesejahterahan hidup, lahir dan batin, dunia dan akhirat.
• Menjunjung tinggi dan melaksanakan peribadatan hanya kepada Allah.
• Menyempurnakan akhlak manusia.
Menurut para peletak dasar ilmu sosial seperti Max Weber, Erich Fromm, dan Peter L Berger, agama merupakan aspek yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Bagi umumnya agamawan, agama merupakan aspek yang paling besar pengaruhnya –bahkan sampai pada aspek yang terdalam (seperti kalbu, ruang batin)– dalam kehidupan kemanusiaan.
PELEMBAGAAN AGAMA
Agama telah dicirikan sebagai pemersatu aspirasi manusia yang paling sublime; sebagai sejumlah besar moralitas, sumber tatanan masyarakat dan perdamaian batin individu; sebagai sesuatu yang memuliakan dan yang membuat manusia beradab. Sebenarnya lembaga keagamaan adalah menyangkut hal yang mengandung arti penting tertentu, menyangkut masalah aspek kehidupan manusia, yang dalam transendensinya, mencakup sesuatu yang mempunyai arti penting dan menonjol bagi manusia. Bahkan sejarah menunjukkan bahwa lembaga-lembaga keagamaan merupakan bentuk asosiasi manusia yang paling mungkin untuk terus bertahan.
Dalam kaitannya dengan lembaga sosial yang ada dalam masyarakat, hendaknya cara berpikir sosiologis dipusatkan pada lembaga-lembaga kecil dan besar, serta gabungan lembaga-lembaga yang merupakan sub-sub sistem dalam masyarakat.
Para sosiolog cenderung untuk memperhatikan paling sedikit 4 kelompok lembaga-lembaga yang penting (yang dapat dijabarkan ke dalam kategori-kategori yang lebih kecil dan khusus), yakni:
1. Lembaga-lembaga politik yang ruang lingkupnya adalah penerapan kekuasaan dan monopoli pada penggunaan kekuasaan secara sah.
2. Lembaga-lembaga ekonomi yang mencakup produksi dan distribusi barang dan jasa.
3. Lembaga-lembaga integrative-ekspresif, yang menurut Inkeles adalah (Alex inkeles 1965: 68).
“… Those dealing with the arts, drama, and recreation..This group also includes institutions which deal with ideas, and with the transmission of received values. We may, therefore, include scientific, religius, philosophical, and educational organizations within this category”.
4. Lembaga-lembaga kekerabatan mencakup kaedah-kaedah yang mengatur hubungan seksual serta pengarahan terhadap golongan muda.
Walaupun tampaknya, suatu lembaga memusatkan perhatian terhadap suatu aspek kemasyarakatan tertentu, namun di dalam kenyataan lembaga-lembaga tersebut saling berkaitan secara fungsional. Setiap lembaga berpartisipasi dan memberikan kontribusi dengan cara-cara tertentu pada kehidupan masyarakat setempat (“community”).
AGAMA, KONFLIK, MASYARAKAT
Contoh :
INDONESIA: KETEGANGAN ANTAR AGAMA DI PAPUA
Hubungan antara Muslim dan Kristen di Papua saat ini sedang tegang dan kemungkinan memburuk karena faktor demografi, dakwah yang agresif oleh elemen-elemen garis keras dari kedua belah pihak, politisasi sejarah agama dan perkembangan di luar Papua yang memperkuat persepsi bahwa agama lain adalah musuh. Dua kali di tahun 2007, satu di Manokwari, satu lagi di Kaimana, konflik antar agama hampir menjelma menjadi kekerasan di wilayah Kepala Burung di bagian barat laut pulau Papua Nugini. Walaupun pertempuran fisik yang nyaris terjadi berhasil dihindarkan, bentrokan lain semacam itu mungkin bisa terjadi, terutama dimana
ketegangan antar agama menjadi tersangkut dalam pertikaian politik setempat. Ada mediator yang bias dimanfaatkan, yaitu Majelis Muslim Papua (MMP), sebuah organisai orang Muslim asli Papua yang memiliki hubungan baik dengan pendatang Muslim dan penduduk asli Kristen. Dengan memperkuat lembaga ini mungkin bisa membantu mencegah terjadinya konflik terbuka, namun demikian menangani sumber perselisihan yang mendasari mungkin akan lebih berat.
Masalah yang paling besar yaitu demografi: proporsi jumlah penduduk Muslim semakin bertambah, dan sebagian besar adalah pendatang dari daerah lain di Indonesia. Pemimpin gereja menilai bahwa jumlah Muslim sengaja dihitung lebih sedikit dari yang sebenarnya, supaya tidak menimbulkan kekhawatiran. Sementara itu sejumlah Muslim menuduh pemerintah menggabung jumlah penganut animisme dengan Protestan untuk mengingkari posisi Islam yang sebenarnya sebagai agama yang dominan. Kedua belah pihak percaya, namun dengan alasan yang berbeda, bahwa kemungkinan sebenarnya jumlah penduduk Muslim sudah melebihi Protestan, yang mana berdasarkan statistik jumlahnya sekitar 50 sampai 60 persen dari jumlah total penduduk Papua.
Bagi banyak penduduk Kristen, hal ini menjadi bukti kebijakan “Islamisasi” dan “Nonpapuanisasi” pemerintah yang terencana untuk menjadikan mereka sebagai minoritas di tanah mereka sendiri; bagi sejumlah Muslim, hal ini memperlihatkan kebutuhan untuk berkonsentrasi mendapatkan pengaruh yang sesuai dengan jumlah mereka.
Ketegangan diperburuk dengan kecenderungan pendatang Muslim yang sangat mengaitkan diri
dengan pemerintah pusat dan menganggap penduduk Kristen sebagai separatis, sementara itu banyak penduduk asli Kristen dan pemimpin gereja yang cenderung untuk mengaitkan diri dengan nasionalisme. Papua – begitu juga dengan banyak dari penduduk asli yang Muslim. Hubungan ras dan etnis yang saling berkaitan dengan agama di Papua semakin mempersulit penanganan konflik.
Selain itu, datangnya elemen baru yang lebih militant dari kedua agama di Papua selama sepuluh tahun belakangan, yang mengakibatkan ketegangan inter dan antar agama, semakin memperburuk keadaan. Di pihak Muslim, Hizb ut-Tahrir2 dan Muslim salafi memberi tampilan keagamaan yang lebih keras kepada Islam yang selama ini lebih dipengaruhi oleh dua
organisasi Muslim terbesar di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, keduanya cukup moderat. Di pihak Kristen, kelompok pantekosta baru dan karismatik menyerukan kebenaran mereka sebagai satu-satunya kebenaran dan melihat ekspansi dakwah
pihak Muslim sebagai tantangan terbesar bagi mereka.
Selain itu, di seluruh Indonesia kelompok-kelompok Muslim secara antusias mempelajari sejarah Islam di Papua, menyebut Papua dengan nama Nu Waar, yaitu sebutan yang diberikan oleh para pedagang dari Arab. Meskipun penduduk Kristen sudah lama menerima bahwa agama Kristen masuk ke Papua tahun 1855, yaitu ketika dua orang Jerman Protestan tiba di Manokwari, Muslim diluar Papua baru-baru ini baru mengetahui bahwa Islam sudah masuk ke Papua beberapa abad sebelumnya – dan pengetahuan ini dipakai untuk menambah rasa keberhakan terhadap tanah dan kekuasaan, terutama di sepanjang pesisir barat.3
Yang terakhir, kedua masyarakat dipengaruhi oleh perkembangan yang berlangsung di luar Papua. Masa paling buruk untuk hubungan antar agama baru-baru ini adalah tahun 1999-2002, ketika euphoria politik paska Soeharto dan pengorganisiran gerakan pro- independen di Papua bersamaan dengan meletusnya konflik antar agama di Maluku, arah barat Papua. Laskar Jihad, milisi Muslim yang dibekingi TNI dan bertekad untuk memerangi separatis Kristen di Maluku, tiba di Papua pada saat pasukan pro-Jakarta, yang merekrut banyak pendatang, sedang berusaha memadamkan demonstrasi Papua merdeka yang bermunculan di seluruh Papua. Lebih dari sebelumnya, para pendatang Muslim diasosiasikan dengan pemerintah dan menjadi sasaran kemarahan penduduk asli.
Saat ini, aksi penyerangan terhadap gereja di daerah- daerah lain di Indonesia dan persepsi bahwa pemerintah pusat sedang bergerak menuju sebuah Islam yang monokultur, telah memperdalam perasaan terancam di kalangan penduduk Papua Kristen, menambah ketakutan bahwa mereka akan dipinggirkan, dan membuat mereka menjadi ingin menunjukkan bahwa mereka adalah Papua Kristen. Dalam konteks inilah ketegangan di Manokwari dan Kaimana hamper meletus tahun 2007 kemarin, dan membuat kemungkinan meletusnya konflik di masa depan menjadi lebih nyata. Dan dalam konteks ini pula konflik lain yang mungkin terjadi sedang mendidih.
Kekerasan, jika itu terjadi, kemungkinan akan terjadi tidak secara menyeluruh; kerusuhan di Manokwari tidak berarti akan menyebar hingga ke Merauke. Selain itu, meskipun persoalan yang mendasari terjadi di seluruh Papua, daerah-daerah yang rawan konflik hanya di beberapa daerah yang sebagian besar terpusat di daerah perkotaan Papua Barat, dimana jumlah Muslim dan Kristen lebih seimbang dari pada di pedalaman. Tetapi ketegangan yang meningkat bisa membawa akibat lain. Ketidaksenangan dengan cara pemerintah lokal menangani persoalan agama dapat memperkuat sentimen separatis di beberapa daerah atau di lain pihak mendorong untuk minta bantuan kepada elemen radikal dari luar Papua.
Laporan ini berdasarkan sejumlah wawancara yang lengkap dan menyeluruh di Manokwari, Sorong, Kaimana dan Jayapura pada bulan Februari, Maret dan April 2008. Laporan ini mengkaji perkembangan di dua wilayah yang hampir terjadi konflik dan meningkatnya ketegangan.
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)